Selasa, 25 Februari 2014

Tatapan Penari Condong


Tatapan Penari Condong

                Dalam setiap proses berkarya semua seniman pasti memiliki cerita di balik setiap karyanya. Ada yang berawal dari sebuah insiden, isu teraktual, atau yang paling umum tentang ketertarikan akan suatu hal. Bagi seorang mahasiswa kerap kali kegiatan berkarya malah menjadi momok yang menakutkan walaupun itu merupakan bidang yang telah dipilihnya. Ketika orang itu mulai menemukan hal yang mampu menggelitik alam bawah sadarnya, barulah saat itu ia mulai menepis segala keraguan dan keengganan untuk memulai proses berkarya. Tentunya fenomena ini juga mampir ke dalam kehidupan pribadi saya. Lukisan yang saya beri judul “Tatapan Penari Condong” ini awalnya memang diawali rasa enggan yang berkepanjangan akibat tuntutan tugas kuliah. Hingga suatu hari ketika saya berkunjung ke suatu panggung terbuka di pura, saya merasa ada suatu ketakjuban yang tak biasa saat menyaksikan gerak lemah gemulai penari condong. Padahal itu bukan kali pertama saya menyaksikan Tari Condong, namun atmosfer yang terasa memang amat berbeda. Hal ini kemudian mendorong saya untuk tidak menunda lagi dan mewujudkannya ke atas kanvas. Saat inilah yang kemudian saya sadari sebagai moment seorang seniman, dalam istilah dunia seni di Bali disebut ‘Taksu’. Entah pengungkapan hal tersebut terhadap karya saya terbilang tepat atau tidak, saya tak begitu peduli sebab yag terpenting pada saat berkarya adalah curahan terdalam yang muncul dari hati.
                Tari Condong adalah gerak awal dari tari Legong. Jadi bisa dibilang gerak awal dari tarian Legong Kraton. Kalau di kaitkan dengan tari Legong Kraton penari Condong bisa mengambil lakon Condong yang biasanya tampil di awal pertunjukan tari. Banyak juga mengatakan bahwa tari Condong ini adalah awal tari atau dasar dari tarian Legong seperti Legong Lasem, Legong Andri, Legong Kuntul, Legong Mesatya, Legong Topeng dan Legong lainnya. Dalam lukisan ini menceritakan tentang seorang penari yang saya lihat pada saat pementasan tari. Kita sebagai penonton mugkin hanya dapat melihat sisi keindahan dari pementasan itu sendiri. Segala kejadian di belakang panggung pementasan acap kali luput dari pandangan. Seorang penari memang kadang kala mengalami konflik pribadi dalam dirinya. Hal itu bukanlah hal yang tabu lagi namun sudah menjadi hal yang biasa. Disitulah letak suatu ironi yang nyata dapat kita lihat. Mungkin dibelakang panggung boleh saja sipenari ini memiliki konflik atau kegundahan dalam hatinya namun ketika berada di atas panggung pementasan semua prahara itu seperti lenyap di telan bumi hanya nampak suatu keindahan bagi penonton.
                Ironi itulah yang saya angkat ke atas kanvas sebagai wujud apresiasi terdalam bagi pelaku seni yang mencurahkan diri sepenuhnya semata-mata hanya untuk persembahan kepada dunia seni itu sendiri dan mengesampingkan segala kepentingan pribadinya.