Tatapan Penari Condong
Dalam
setiap proses berkarya semua seniman pasti memiliki cerita di balik setiap
karyanya. Ada yang berawal dari sebuah insiden, isu teraktual, atau yang paling
umum tentang ketertarikan akan suatu hal. Bagi seorang mahasiswa kerap kali
kegiatan berkarya malah menjadi momok yang menakutkan walaupun itu merupakan
bidang yang telah dipilihnya. Ketika orang itu mulai menemukan hal yang mampu
menggelitik alam bawah sadarnya, barulah saat itu ia mulai menepis segala
keraguan dan keengganan untuk memulai proses berkarya. Tentunya fenomena ini
juga mampir ke dalam kehidupan pribadi saya. Lukisan yang saya beri judul “Tatapan
Penari Condong” ini awalnya memang diawali rasa enggan yang berkepanjangan
akibat tuntutan tugas kuliah. Hingga suatu hari ketika saya berkunjung ke suatu
panggung terbuka di pura, saya merasa ada suatu ketakjuban yang tak biasa saat
menyaksikan gerak lemah gemulai penari condong. Padahal itu bukan kali pertama
saya menyaksikan Tari Condong, namun atmosfer yang terasa memang amat berbeda. Hal
ini kemudian mendorong saya untuk tidak menunda lagi dan mewujudkannya ke atas
kanvas. Saat inilah yang kemudian saya sadari sebagai moment seorang seniman,
dalam istilah dunia seni di Bali disebut ‘Taksu’. Entah pengungkapan hal
tersebut terhadap karya saya terbilang tepat atau tidak, saya tak begitu peduli
sebab yag terpenting pada saat berkarya adalah curahan terdalam yang muncul
dari hati.
Tari
Condong adalah gerak awal dari tari Legong. Jadi bisa dibilang gerak awal dari
tarian Legong Kraton. Kalau di kaitkan dengan tari Legong Kraton penari Condong
bisa mengambil lakon Condong yang biasanya tampil di awal pertunjukan tari. Banyak
juga mengatakan bahwa tari Condong ini adalah awal tari atau dasar dari tarian
Legong seperti Legong Lasem, Legong Andri, Legong Kuntul, Legong Mesatya, Legong
Topeng dan Legong lainnya. Dalam lukisan ini menceritakan tentang seorang
penari yang saya lihat pada saat pementasan tari. Kita sebagai penonton mugkin
hanya dapat melihat sisi keindahan dari pementasan itu sendiri. Segala kejadian
di belakang panggung pementasan acap kali luput dari pandangan. Seorang penari
memang kadang kala mengalami konflik pribadi dalam dirinya. Hal itu bukanlah
hal yang tabu lagi namun sudah menjadi hal yang biasa. Disitulah letak suatu
ironi yang nyata dapat kita lihat. Mungkin dibelakang panggung boleh saja
sipenari ini memiliki konflik atau kegundahan dalam hatinya namun ketika berada
di atas panggung pementasan semua prahara itu seperti lenyap di telan bumi
hanya nampak suatu keindahan bagi penonton.
Ironi itulah
yang saya angkat ke atas kanvas sebagai wujud apresiasi terdalam bagi pelaku
seni yang mencurahkan diri sepenuhnya semata-mata hanya untuk persembahan
kepada dunia seni itu sendiri dan mengesampingkan segala kepentingan
pribadinya.
toop top
BalasHapus